Sekembalinya dari tanah pengasingannya di
Negeri Belanda (1919), Suwardi Suryaningrat
menfokuskan perjuangannya dalam bidang pendidikan.
Pada tanggal 3 Juli 1922 Suwardi Suryaningrat
(lebih dikenal dengan nama Ki Hajar
Dewantara) berhasil mendirikan perguruan Taman
Siswa di Yogyakarta.
Dengan berdirinya Taman Siswa, Suwardi
Suryaningrat memulai gerakan baru bukan lagi
dalam bidang politik melainkan bidang pendidikan,
yakni mendidik angkatan muda dengan jiwa kebangsaan
Indonesia berdasarkan akar budaya
bangsa.
Sekolah Taman Siswa dijadikan sarana untuk menyampaikan ideologi
nasionalisme kebudayaan, perkembangan politik, dan juga digunakan untuk
mendidik calon-calon pemimpin bangsa yang akan datang. Dalam hal ini, sekolah
merupakan wahana untuk meningkatkan derajat bangsa melalui pengajaran itu
sendiri. Selain pengajaran bahasa (baik bahasa asing maupun bahasa Indonesia),
pendidikan Taman Siswa juga memberikan pelajaran sejarah, seni, sastra
(terutama sastra Jawa dan wayang), agama, pendidikan jasmani, dan keterampilan
(pekerjaan tangan) merupakan kegiatan utama perguruan Taman Siswa.
Penididikan Taman Siswa dilakukan dengan sistem "among" dengan pola
belajar "asah, asih dan asuh". Dalam hal ini diwajibkan bagi para guru untuk
bersikap dan berlaku "sebagai pemimpin" yakni di depan memberi contoh, di
tengah dapat memberikan motivasi, dan di belakang dapat memberikan
pengawasan yang berpengaruh. Prinsip pengajaran inilah yang kemudian dikenal dengan pola kepemimpinan "Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani ". Pola kepemimpinan ini sampai sekarang masih menjadi
ciri kepemimpinan nasional.
Berkat jasa dan perjuangannya yakni mencerdaskan kehidupan menuju
Indonesia merdeka maka tanggal 2 Mei (hari kelahiran Ki Hajar Dewantara)
ditetapkant sebagai hari Pendidikan Nasional. Di samping itu, "Tut Wuri
Handayani" sebagai semboyan terpatri dalam lambang Departemen Pendidikan
Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar