Kamis, 04 Agustus 2011

Indonesia dan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie)

Pada abad ke-16 Portugis dan Spanyol menguasai pelayaran ke Asia serta menguasai perdagangan rempah-rempah antara Asia dengan Eropa, khususnya perdagangan lada. Dalam perkembangan selanjutnya di Eropa, Raja Portugal memiliki kekuasaan tunggal atas pengangkutan dan pembelian hasil bumi dari Asia. Semua kontrak jual beli hasil bumi ditentukan harganya oleh Raja Portugal. Orang-orang Belanda yang dikenal sebagai pedagang merasa dirugikan oleh tindakan Portugal tersebut, dan akhirnya berusaha mencari jalan sendiri untuk menghindari monopoli perdagangan Portugal.
Atas inisiatif Staten-Generaal (semacam Dewan Rakyat) pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan perusahaan dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Amsterdam, yang kemudian berkembang di berbagai kota lainnya. Para pedagang besar Belanda sebagai pemegang sahamnya. Dalam waktu hanya lima tahun VOC memiliki 15 armada yang terdiri dari 65 kapal yang memulai pelayarannya dari pelabuhan-pelabuhan Rotterdam, Amsterdam, Middelburg, Vlissingen, Veere, Delft, Hoorn dan Enkhuizen.
Sebelum terbentuknya VOC, ekspedisi Belanda pertama ke Asia telah melakukan tiga kali pelayaran antara tahun 1594 – 1596 namun  mengalami kegagalan. Para pelaut banyak yang jatuh sakit karena keracunan makanan yang sudah membusuk. Kapal pertama Belanda mendarat di Banten tahun 1596, tetapi tidak mendapat rempah-rempah seperti yang diharapkan. Pelayaran selanjutnya ke Maluku (kapal “De Houtman” dan “Van Beuningen”) mengalami kegagalan  juga, karena terjadi bentrokan fisik antara awak kapal dengan penduduk setempat sehingga banyak pelautnya yang mati. Pada tahun 1597 tiga dari empat kapal kembali ke Belanda dan dari 249 awak kapal hanya tinggal 90 orang yang masih hidup.  Ekspedisi kedua dilakukan pada tahun 1598 dengan 8 buah kapal dibawah komando kapten kapal van Neck dan van Warwijk yang berhasil membawa rempah-rempah dalam jumlah  besar dari kepulauan Maluku terutama dari Banda, Ambon dan Ternate.
VOC merupakan perusahaan multinasional yang pertama di dunia yang tersebar di banyak negara, dan dalam melaksanakan kegiatan perdagangannya tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang tidak beradab, termasuk pembunuhan terhadap penduduk dan memperlakukan penduduk asli sebagai budak tanpa rasa perikemanusiaan khususnya di Indonesia. 
Persaingan antara Belanda dan Portugis dalam perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku berakhir ketika Belanda berhasil membangun permukiman tetap dengan mengusir Portugal pada tgl 23 Februari 1605. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa Belanda berhasil menggantikan posisi Portugal mendapatkan sumber hasil bumi dari kepulauan Nusantara. Selama dua abad menguasai bumi Indonesia, VOC telah bertindak dan memerintah dengan menggunakan kekuasaan militer menekan dan mengadu-domba kerajaan-kerajaan setempat, memberlakukan hukumnya sendiri di seluruh Indonesia, memiliki pengadilan sendiri dan melakukan perdagangan monopoli yang sangat merugikan rakyat.
Bagi Belanda VOC merupakan kenyataan sejarah yang membanggakan karena memberi nilai tambah yang tidak kecil kepada rakyat Belanda, dan karena alasan itu Kementerian Pendidikan Belanda memprakarsai peringatan dan perayaan 400 tahun VOC secara nasional yang pelaksanaannya dilakukan oleh swasta di seluruh negeri. VOC juga dianggap telah membawa kemakmuran serta kekayaan kultur bagi negara Belanda, bahkan dianggap membawa cakrawala baru karena berhasil “menguasai” kawasan-kawasan dunia baru. VOC dinilai berhasil mendorong berbagai perkembangan kemasyarakatan, dan dengan mengarungi lautan telah memperkaya bangsa Belanda belajar tentang bangsa-bangsa lain. Untuk itu generasi muda Belanda harus mengetahui tentang apa arti dan bagaimana perwujudan VOC sebagai bagian dari karya nyata dan kejayaan bangsa Belanda di masa lalu. Peringatan dan perayaan 400 tahun VOC akan dilakukan di 6 kota dan dipusatkan di Ridderzaal melalui pameran dan penyediaan informasi tentang VOC sepanjang tahun 2002. Pihak Belanda telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Afrika Selatan, Sri Lanka dan India agar ikut serta mengambil bagian memperingat dan merayakan 400 tahun VOC. Karena dianggap akan mengandung kepekaan politik, panita VOC tidak mengajak Indonesia, walaupun Belanda menyadari bahwa sebagian besar kegiatan dan keuntungan yang diraup VOC justru berasal dari Indonesia.
Pandangan terhadap peran VOC di Indonesia

Dr Gerrit Knaap dari KITLV (Belanda), dalam tulisannya berjudul “Dutch Perception of Indonesian History, Anno 2001” dalam sarasehan mengenai sejarah hubungan Indonesia-Belanda di KBRI Den Haag pada bulan Agustus 2001, a.l. mengatakan “Personally, I fully agree to the fact that the VOC in Indonesia was nothing more and nothing less than a colonial state. This was already imminent in the charter by which the VOC was founded in 1602, where it was stipulated by the government that this company not only should be the exclusive Dutch Organization to trade in the area between Cape of Good Hope and Cape Hoorn, but that also possessed the right to wage war, make peace and built fortress in that area. War, peace and fortress are attributes of a state, not of a trader.” Selanjutnya Dr Knaap menambahkan dalam tulisan yang sama bahwa … “the VOC as such is an organization with two faces, that of the merchant and that of the statesman”. Bahkan dia mengkhawatirkan tentang adanya sikap orang-orang di Belanda bahwa seolah-olah VOC hanya melaksanakan perdagangan saja di Indonesia, karena berarti orang-orang tersebut samasekali tidak tahu tentang sejarah yang sebenarnya.

Dr Anhar Gonggong sejarawan Indonesia, dalam kesempatan yang sama, a.l. mengatakan bahwa VOC merupakan simbol dari kehendak Belanda untuk mendapatkan keuntungan ekonomi-perdagangan sekaligus perluasan wilayah kolonialnya. Dr Anhar Gonggong menyitir pendapat Dr Verkuyl yang mengatakan : “Selama pemerintahan VOC, yang merupakan suatu kongsi dagang monopolistis yang dipersenjatai, yang memiliki kedaulatan atas wilayah-wilayah tertentu yang diperolehnya dengan merampas”.Apa yang dilakukan VOC di Indonesia, menurut Dr Anhar Gonggong  merupakan tindakan awal dari kekuatan-kekuatan imperialis-kolonialistik. Dengan perkataan lain merupakan proses awal penancapan kekuasaan kolonialistik yang didorong oleh motif ekonomi-merkantil. Motif ini hanya bisa berhasil kalau didukung oleh pemerintah Belanda dengan memberi bantuan militer.
Sementara ilmuwan Belanda maupun Indonesia cukup banyak yang memiliki kesimpulan sama tentang peran VOC di Indonesia pada abad ke 16 dan 17 yaitu tidak terlepas dari politik kolonialisme Belanda, namun di pihak lain sampai sekarang masih cukup banyak pihak-pihak di Belanda yang beranggapan bahwa kolonialisme Belanda  di Indonesia memiliki misi khusus, yang mereka sebutkan sebagai “misi suci”  a.l. untuk  :
1.      men-civilized-kan orang-orang Indonesia yang masih primitif;
2.      memberi kemakmuran kepada orang-orang Indonesia yang masih terbelakang,
3.      mempersatukan orang-orang Indonesia yang selalu berkelahi antar mereka,
4.      memberi pendidikan dan kemajuan rakyat Indonesia, dan
5.      kedatangan VOC ke Indonesia semata-mata untuk berdagang saja.

Sikap pandang bangsa Indonesia terhadap peringatan 400 tahun VOC

Masalah peringatan maupun perayaan 400 tahun VOC merupakan urusan orang Belanda sendiri dan merupakan haknya untuk memperingatinya dan tidak ada hubungannya dengan kepentingan langsung bangsa Indonesia. Belanda sendiri yang mengakui bahwa peringatan itu mengandung kepekaan politik bagi Indonesia, yang sebenarnya secara eksplisit sebagai suatu pengakuan bahwa kehadiran VOC di Indonesia tidak disukai rakyat Indonesia. Pihak Belanda tidak pernah melakukan pendekatan formal kepada Indonesia untuk ikut memperingati atau merayakan 400 tahun VOC, walaupun berdasarkan informasi ada pihak-pihak swasta di Indonesia yang “bersedia” melakukannya demi aliran bantuan yang diberikan oleh pihak Belanda.

Bangsa Indonesia hendaknya melihat VOC sebagai bagian dari kolonialisme Belanda di Indonesia, dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia secara tegas menentang kolonialisme dalam bentuk apapun. Persoalan yang kita hadapi adalah tentang kewajaran dan kepantasan bagi bangsa Indonesia untuk ikut meramaikan peringatan atau perayaan 400 tahun VOC di bumi Indonesia sendiri, sementara kita tahu dan sadar bahwa kehadiran VOC di Indonesia telah memakan banyak korban harta dan jiwa rakyat Indonesia serta merupakan bagian dari kekuasaan kolonialistik.
Salah satu keberhasilan dan kesuksesan VOC menguasai seluruh wilayah Indonesia adalah melalui kemampuannya memanfaatkan sikap bangsa kita yang mudah diadu-domba karena keragaman etnis, dan juga menggunakan penguasa bangsa Indonesia sendiri untuk menekan rakyatnya. Apakah bangsa kita sekarang ini  masih mau dan bersedia untuk terus dijadikan ajang adu-domba demi membela kepentingan asing, tentunya bangsa kita sendiri yang dapat menjawabnya. Perbedaan intern yang menimbulkan pertentangan bahkan konflik antar kita merupakan kelemahan yang harus kita akui, dan untuk menanggulanginya  hanya dapat oleh kemauan kita sendiri.
Dengan dalih mengapa kita harus menghilangkan kesempatan menikmati bantuan, masih ada orang-orang di Indonesia yang berpendapat bahwa menolak untuk ikut memperingati 400 tahun VOC sebagai tingkah “pahlawan kesiangan” karena persoalan VOC sudah merupakan persoalan masa lalu. Masa lalu memang tidak perlu diungkit kembali apalagi kalau diikuti dengan pembalasan dendam, tetapi penglihatan terhadap masa lalu hendaknya juga tidak menghilangkan perasaan pengorbanan dan penderitaan rakyat terhadap kekuasaan asing yang lalim, seperti perasaan bangsa Belanda terhadap penjajahan Jerman.
Keinginan dan maksud Belanda untuk membangun kembali monumen kehadirannya di Indonesia pada masa-masa lalu tentunya perlu kita sambut, tetapi hendaknya pembangunan tidak dikaitkan dengan peringatan 400 tahun VOC. Keinginan membangun monumen Belanda itupun perwujudannya harus pula berimbang, karena bukan hanya kemegahan gedung secara fisik saja yang harus diperhatikan tetapi juga tempat-tempat dimana pihak Belanda pernah menyiksa bangsa Indonesia perlu dipertontonkan. Hal ini perlu diketahui oleh generasi muda di Indonesia dan Belanda, sebagai suatu pelajaran agar segala macam penindasan  tidak terulang lagi.
Keadaan sudah berubah dan hubungan Indonesia dengan Belanda sudah semakin baik dan bangsa Belanda sudah menjadi sahabat bangsa Indonesia, apalagi masyarakat Belanda telah membantu ketika Indonesia sedang dalam keadaan sulit. Namun tentunya kita tidak perlu meninggalkan prinsip kita sendiri terhadap kolonialisme. Persahabatan adalah persahabatan, sedangkan prinsip adalah tetap prinsip. Kehadiran Belanda di bumi Indonesia adalah suatu kenyataan sejarah, dan sejarah hubungan kedua bangsa dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu yang buruk dan yang baik bagi keduabelah pihak.. Yang buruk harus dijadikan peringatan untuk tidak diulang lagi, sementara yang baik kalau perlu dapat kita sempurnakan. Generasi baru di Indonesia dan Belanda perlu mengerti perjalanan sejarah hubungan kedua bangsa sebagai monumen yang memiliki dua dimensi tersebut, untuk dapat dijadikan pelajaran positif agar tidak terulang kembali peristiwa yang pernah menyakitkan salah satu pihak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar