Peninggalan arkeologis menunjukan bahwa raja pertama, yang disebut dalam tradisi seperti yang terdapat dalam Hikayat Raja-raja Pasai bernama Merah Silu atau Sultan Malikus Saleh, mangkat pada bulan Ramadhan tahun 696 Hijriah atau 1297 M. Dengan demikian ia disebut sebagai Raja Islam pertama di Kerajaan Pasai itu. Sejarah Malayu menyebutkan bahwa Malikus Saleh Raja Pasai itu, yang sebelum memeluk agama Islam bernama Merah Silu, memakai nama Malikus Saleh setelah ia menjadi penganut Agama Islam. Ia menikahi putri Perlak dan memperoleh dua orang putra, yakni, Malik Al-Zahir dan Malik Al-Mansur.
Peranan penting yang dimainkan Pasai dalam penyebaran Islam ke seluruh Nusantara dimungkinkan karena hubungan itu berkaitan erat dengan kegiatan perdagangan yang didalamnya juga terdapat kegiatan para pedagang yang sekaligus bertindak sebagai pendakwah. Pasai yang terkait dengan kegiatan perdagangan dengan berbagai kerajaan lain di kawasan ini, dengan mudah menggunakan jaringan itu untuk tujuan pengembangan agama Islam.
Sumber informasi dari Dinasti Yuan menyebutkan bahwa pada tahun 1282 Kerajaan Pasai mengirimkan dua orang utusan yang bernama Sulaiman dan Samsuddin ke Istana Kaisar Cina. Informasi ini menunjukan bahwa orang-orang Islam telah menduduki posisi penting dalam pemerintahan di Kerajaan Pasai yang dipimpin Malik Al-Saleh. Kedua orang ini diperkirakan sebagai pedagang Islam yang bermukim atau menduduki posisi penting dalam pemerintahan.
Pada pusat pemerintahan di Pasai, kegiatan keagamaan cukup semarak, hal ini terutama dapat diperlihatkan kehidupan keagamaan di istana. Contoh kongkrit tentang hal ini ialah pada masa pemerintahan Malik Al-Zahir, Ibnu Batulah menyebutkan kunjungannya ke sana pada tahun 1345 dan Sultan yang memerintah ialah Sultan Malik Al-Zahir, seorang raja yang taat kepada ajaran Nabi Muhammad SAW dan baginda senantiasa dikelilingi oleh para ahli agama teologi Islam di antaranya ialah Qadi Syarif Amir Sayyid dari Shiraz, dan Tajal-Din dari Isfahan. Ditinjau dari sudut perkembangan agama Islam, Pasai dapat kita katakan sebagai pusat penyiaran agama Islam di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.
Hubungan antara Pasai dengan Malaka dan juga dengan daerah-daerah lain di kawasan Asia Tenggara telah terjalin sejak adanya hubungan perdagangan Selat Malaka. Agama Islam pun mulai dianut di beberapa tempat di Asia Tenggara, terutama di Semenanjung Melayu dan di pesisir utara Pulau Jawa. Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Samudera Pasai dengan Semenanjung Melayu lambat-laun menyebabkan terbentuknya masyarakat muslim di sana, antara lain di Trengganu yang dibuktikan oleh temuan batu bersurat dengan huruf Arab yang berbahasa Melayu. Batu itu bertanggal Jum’at 22 Februari 1303 M.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Samudera Pasai dan Malaka jauh sebelum abad ke-15, lambat-laun menyebabkan pula timbulnya masyarakat muslim di Malaka, bahkan juga di kalangan bangsawan atau raja-raja. Raja Malaka yang dikenal sebagai Paramisora mengambil puteri dari Pasai sebagai isterinya, kira-kira pada tahun 1414. Hubungan perdagangan amat dimajukan antara dua kerajaan tersebut. Pada waktu itu pun mata uang emas (dirham) yang sudah dikenal di Samudera Pasai, dikenalkan pula kepada raja dan masyarakat Malaka.
Bukti lain tentang pengaruh Pasai terhadap Malaka, ialah dari kisah Sultan Malaka yang selalu menanyakan soal-soal yang pelik dalam agama kepada raja Pasai, seperti telah disebutkan. Pengaruh Pasai juga berlangsung atas Kedah, meskipun Kedah juga berada di bawah kekuasaan Siam. Melalui kedah muballig-muballig Islam dari Pasai menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Semenanjung Melayu, yang terletak lebih ke pedalaman sampai ke Trengganu. Pengaruh Pasai yang telah ada di sebelah utara Semenanjung Melayu juga mengakibatkan besarnya pengaruh terhadap raja-raja Malaka yang pertama, yang mengawini puteri Pasai.
Hubungan antara Pasai dengan daerah-daearah lain di Indonesia seperti Pulau Jawa, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Lombok, dan Sumbawa dibuktikan oleh adanya kesamaan bentuk nisan kubur yang terdapat di Pasai dengan daerah-daerah yang disebutkan.
Namun keberadaan manuskrip ini meragukan beberapa pihak untuk dimasukkan dalam sejarah Kerajaan Islam Samudra Pasaimengacu pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1) Manuskrip ini hanyalah cerita dongeng (fiksional) yang mengambil latar belakang (tokoh dan tempat) yang benar-benar ada. Di satu sisi ia tidak lebih dari sebuah karya semacam Alfu Lailah Wa Lailah (Cerita Seribu Satu Malam yang mengambil latar belakang Baghdad dan tokoh-tokohnya). Sisi yang berbeda hanya HRP menampakkan secara menonjol suatu niat busuk yang terpendam dalam batin si pengarangnya.
2) Ketidakjelasan siapa pengarang dan bagaimana jalan cerita itu diterima secara akurat oleh si pengarangnya (manhaj tahdits). Hal ini menyebabkan Hikayat Raja-raja Pasai tidak memiliki potensi ilmiah untuk menjadi sumber sejarah, apalagi sejarah sebuah kerajaan yang diyakini menjadi pusat penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara.
Hikayat Raja-Raja Pasai pertama kali diterbitkan oleh seorang Perancis bernama Ed. Dulaurier pada tahun 1849 M dalam Collection Principle Cronique Malayes. Ia menerbitkannya dalam huruf Arab berdasarkan manuskrip yang dibawa oleh Sir Thomas Stanford Raffles ke London yang sampai sekarang masih ada di sana dalam perpustakaan Royal Asiatic Society. Pada tahun 1914 M terbit versi yang dihuruflatinkan oleh J.P. Mead yang juga berasal dari manuskrip London tersebut di atas. Di samping itu, terdapat pula transkripsi Hikayat Raja-Raja Pasai beserta pembicaraannya dalam Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, 1960, yang dikerjakan oleh A.H. Hill. Menurt T. Iskandar, Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya sejarah tertua dari zaman Islam.
Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat dua versi. Pertama ialah cerita Pasai yang terdapat dalah naskah Sejarah Melayu, yakni riwayat yang berakhir dengan mangkatnya Sultan Malik al Dzahir dan naiknya tahta kerajaan Sultan Ahmad. Kedua adalah versi Hikayat Raja-Raja Pasai yang diwakili oleh Raffles seperti tersebut di atas. R.O. Winstedt menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai mempunyai persamaan-persamaan, baik dalam pokok pembicaraan maupun susunan ayatnya. Ia mengatakan, penyusun Sejarah Melayu telah meniru, memparafrasakan dan menyalin Hikayat Raja-Raja Pasai. Winstedt berkesimpulan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai ialah teks yang tertua dari kedua karya itu (Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai). Namun, R. Roolvink menyatakan, tidak mudah untuk menentukan antara kedua teks itu dan mungkin sekali penyusun Sejarah Melayu telah menggunakan teks Hikayat Raja-Raja Pasai yang lain, sehingga terjadi perbedaan penting antara kedua teks itu dari segi nama dan detail-detail lainnya.
Menurut A. Teeuw bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai berdasarkan internal evidence tidak mungkin dikarang sebelum Sejarah Melayu, tetapi sebaliknya. Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis berdasarkan suatu versi asal Sejarah Melayu untuk kemegahan kerajaan Pasai dengan berbagai tambahan dan perubahan. Namun, Amin Sweeney menentang pendapat itu dan berdasarkan internal evidence pula menyatakan dengan sangat meyakinkan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang digunakan oleh pengarang bagian pertama Sejarah Melayu.
Isi naskah Hikayat Raja-Raja Pasai menyangkut sejarah negeri Pasai sekitar pertengahan abad ke-13, masa pengislaman Tanah Pasai hingga pertengahan abad ke-14, dan waktu penaklukan Pasai oleh Majapahit. Secara lebih rinci isi Hikayat Raja-Raja Pasai dapat dibagi menjadi enam bagian, meskipun dalam manuskrip tersebut tidak ada pembagian ini. Lima bagian pertama adalah cerita mengenai Samudra Pasai, sedangkan yang keenam sama sekali tidak menyinggunga Pasai, tetapi mengenai penaklukan Nusantara oleh Patih Gajah Mada atas perintah Sang Nata Majapahit. Dalam bagian terakhir itu juga dibicarakan penaklukan sebagian pulau Perca, yakni Minangkabau, yang tidak dilakukan dengan peperangan tetapi dengan adu kerbau. Tentara Jawa kalah dalam penaklukan itu. Naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang mula-mula besar kemungkinannya tidak mengandung bagian yang keenam itu. Apabila itu benar, maka bagian yang keenam itu adalah tambahan yang kemudian, mungkin ditulis oleh pengarang lain dan ditambahkannya kepada naskah Hikayat Raja-Raja Pasai.
Pada umumnya naskah lama tulisan tangan yang sampai kepada kita bukanlah naskah induk, melainkan naskah salinan. Naskah-naskah itu lazim tidak mencantumkan, baik nama pengarang aslinya maupun tahun penyusunannya. Untuk memperkirakan masa penyusunan sebuah naskah, peneliti naskah lama pada umumnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Cap kertas
Pada kertas yang digunakan penulis atau penyalin naskah sering terdapat semacam gambaran yang membayang, yang disebut cap kertas. Misalnya, kertas berukuran folio yang capnya menggambarkan seekor singa yang beridiri di atas sebuah kotak yang bertulisan VRYHEID, menurut Churchill bahwa kertas yang seperti itu dibuat pada tahun 1785 M. Perkiraan seperti itu dapat dilakukan terhadap naskah yang menggunakan kertas. Naskah-naskah lontar atau yang menggunakan alas tulis yang lain tidak dapat diperlakukan demikian. Lagi pula, yang dapat diperkirakan hanya batas awal penulisan, bukan titik waktu yang tertentu.
2. Peristiwa sejarah
Sering terjadi bahwa seorang tokoh sejarah atau sebuah peristiwa sejarah disebut-sebut dalam suatu naskah. Dengan demikian, penyebutan waktu hadirnya tokoh itu atau terjadinya peristiwanya tidak sesuai benar dengan rekaman sejarah yang objektif, tetapi tokoh atau peristiwa itu baru dapat disebut-sebut setelah ada atau terjadi. Itu berarti bahwa naskah tersebut pasti disusun setelah tokoh atau peristiwa itu muncul dalam sejarah, tidak mungkin sebelumnya, sehingga ada batas awal.
3. Ejaan
Ejaan juga dapat digunakan sebagai batasan penentu masa penyusunan atau penyalinan sebuah naskah. Naskah-naskah berbahasa Melayu dengan bertulisan Jawi dari kurun waktu tertentu, misalnya, mencantumkan tasydid di atas huruf yang mengikuti suku kata berbunyi e pepet, misalnya, berrindu. Piniadaan konsonan dasar menghasilkan bentuk-bentuk, seperti menengar, juga merupakan gejala ejaan yang menandai kurun waktu tertentu.
4. Kolofon
Pada bagian naskah salinanan ada penambahan kolofon yang memuat nama penyalin dan tempat serta tanggal penyalinan diselesaikan. Apabila dalam kolofon tanggal itu ditulis secara lengkap sampai dengan angka tahunnya, lazimnya digunakan tarikh Hijriah.Pada sebagian naskah memang ada dicantumkan tanggal yang lengkap, para pembaca tidak segera terbayang masanya karena dewasa ini orang tidak lagi terbiasa menggunakan tarikh Hijriah dalam perhitungan waktu. Oleh karena itu, angka tahun Hijriah oleh para peneliti naskah lama dikonversikan menjadi angka tahun Masehi. Namun, ada juga yang sekaligus mencantumkan tanggal menurut perhitungan tarikh Hijriah dan Masehi.
5. Kapan Hikayat Raja-Raja Pasai itu ditulis
Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan sejak awalnya kerajaan Samudra Pasai dengan rajanya Malikul Saleh, dan hingga berakhirnya kerajaan Pasai di bawah pemerintahan Raja Ahmad yang porak-poranda diserang oleh laskar Majapahit. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang pertama dikarang, sekurang-kurangnya segera setelah Pasai ditaklukan oleh Majapahit, karena hikayat ini tidak lagi menceritakan tentang Raja-Raja Pasai setelah kalah diserang oleh Majapahit. Kapan Majapahit menaklukan Pasai? Hikayat Raja-Raja Pasai sama sekali tidak menyebutkan angka tahun, kecuali cerita penyerangan Majapahit ke Pasai. Pada akhirnya naskah terdapat kalimat sebagai berikut: bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu Majapahit pada zaman pecahnya negeri Pasai, ratunya bernama Ahmad”.
Dalam kitab Negarakertagama gubahan Prapanca tahun 1365, Samudra termasuk daerah-daerah yang ditaklukan oleh Majapahit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penaklukan Pasai oleh Majapahit terjadi sebelum tahun 1365. Namun, G.E. Marrison berpendapat bahwa invansi Majapahit ke Pasai terjadi pada tahun 1377, lebih lambat dari waktu ditulisnya kitab Negarakertagama. Seandainya pendapat Marrison benar, tentu nama-nama Samudra tidak terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang takluk kepada Majapahit di dalam Negarakertagama tahun 1365. Namun, Sir Richard mengatakan bahwa sangat mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis pada abad ke-15, antara tahun 1350 dan 1500.
Manuskrip Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat di London, satu-satunya manuskrip yang ada, yaitu berupa salinan dari satu naskah kepunyaan Kiai Suradimenggala, Bupati Sepuh di Demak, salinan itu selesai dikerjakan pada 21 Muharram 1230 H atau 1825 M. Sir Ricard berpendapat bahwa tahun Hijriah yang tertera di sana adalah tahun 1230 H, sehingga menurutnya salinan itu selesai pada tahun 1814 M. Dr. Roolvink membacanya 1235 H dan kemungkinan ini yang lebih tepat, dan tanggal itu sesuai dengan hari Selasa, 9 November 1819. Timbulnya perbedaan tersebut, karena anggka yang terakhir yang tertulis dengan huruf Arab dalam salinan itu dapat diragukan, mungkin dapat dibaca 0 dan mungkin juga 5, hingga menyebabkan timbulnya bacaan yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar